
Akhir Dari Media Sosial yang Kita Kenal
Masih ingat nggak sih, dulu media sosial itu dibangun atas dasar janji manis buat nyambungin kita sama orang-orang terdekat, bahkan seluruh dunia? Rasanya kayak punya taman bermain digital buat berbagi cerita, foto liburan, atau sekadar ngopi virtual bareng teman. Tapi, coba deh lihat sekarang. Taman bermain itu udah berubah jadi hutan rimba yang penuh spam, avatar manusia sintetis yang bikin bingung, dan konten yang cuma mementingkan klik daripada isi. Ya, kawan, sepertinya kita sedang menyaksikan (The) Last Days Of (Social Media).
Ketika Algoritma Bikin Kita Makin Jauh
Pernah nggak sih kamu merasa lelah banget pas buka Instagram atau TikTok? Scroll demi scroll tanpa tujuan, cuma buat ngisi kekosongan. Itu bukan salahmu, kok. Ini adalah konsekuensi dari "attention economy" yang makin parah, ditambah lagi "late attention economy" yang dipicu oleh kecanggihan AI generatif. Platform-platform raksasa kayak Facebook, X (dulu Twitter), TikTok, dan Reddit, sibuk banget ngasih kita konten yang dioptimalkan buat nahan kita di layar selama mungkin. Metrik engagement jadi raja, sementara kualitas konten dan interaksi manusia yang otentik terpinggirkan.
Yang bikin miris, platform-platform ini makin kewalahan ngatasin banjir informasi palsu dan spam. Akibatnya? Kepercayaan kita runtuh. Ditambah lagi, muncul fenomena "bot-girl economy" yang makin marak. Para pembuat konten, termasuk yang dibantu AI, berlomba-lomba bikin persona sintetis buat menarik perhatian dan, tentu saja, engagement. Nggak heran kalau rasa lelah itu makin menusuk, bikin kita makin menjauh dari niat awal buat terhubung.
Pergeseran dari "Attention" ke "Exhaustion"
Kenyataannya, media sosial yang kita kenal ini lagi sekarat. Kalau dulu kita bangun pagi langsung pegang HP buat lihat notifikasi, sekarang rasanya kayak beban. Kita scroll bukan lagi karena penasaran, tapi lebih karena mekanisme mood-regulation device. Cuma buat ngilangin rasa nggak nyaman sesaat, sambil tahu dalem hati kalau apa yang kita lihat itu dangkal dan seringkali dibuat oleh AI.
Para pemain lama media sosial kewalahan, sementara muncul aktor-aktor baru yang memanfaatkan celah, seperti platform konten eksklusif dan pengembang teknologi AI. Mereka semua berlomba di arena yang sama, tapi dengan aturan main yang udah berubah. Dulu, koneksi jadi prioritas. Sekarang? Cuma sebatas tontonan dan validasi semu.
Masa Depan: Ruang yang Lebih Kecil, Lebih Dalam, dan Lebih Manusiawi
Terus, apa dong masa depannya? Kalau kita ngarepin platform tunggal yang masif bakal memimpin, kayaknya harus mikir ulang. Artikel ini, yang ditulis di September 2025, melihat tren yang makin jelas: pergeseran ke arah ekosistem ruang digital yang lebih kecil, lebih lambat, dan lebih pribadi. Pikirkan grup chat sama teman dekat, server Discord yang fokus pada hobi tertentu, atau microblogging terdesentralisasi yang memberikan kendali lebih ke pengguna.
Ini adalah era ketika "deliberative friction" alias gesekan yang disengaja untuk memicu refleksi, jadi kunci. Kita butuh lebih dari sekadar konsumsi pasif. Kita butuh transparansi dari platform, tata kelola yang lebih berorientasi kepentingan publik, dan yang paling penting, peningkatan literasi digital. Ini adalah pertahanan kolektif kita.
Arsitektur internet baru harusnya memprioritaskan pemulihan koneksi otentik dan makna, bukan cuma sekadar metrik engagement yang bikin kita makin lelah. Mungkin inilah saatnya kita berhenti jadi penonton pasif di panggung digital yang riuh rendah, dan mulai membangun kembali ruang-ruang yang lebih bermakna.